Hasil Putusan MK Tentang Pengujian Pasal 158 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Pada tanggal 28 Oktober 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan putusan perkara Nomor: 012/PUU-1/2003 tentang permohonan pengujian UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam salah satu putusannya MK menyatakan bahwa pasal 158 dan pasal 159 Undang-Undang Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan ini, MK juga membatalkan bunyi anak kalimat yang terkait di dalam pasal 160 (1), pasal 170 dan pasal 171 UU Ketenagakerjaan.

Jika dilihat bunyi pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, mengatur tentang pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat seperti, mencuri, penggelapan barang, mabuk, perbuatan asusila, membocorkan rahasia perusahaan dan sebagainya. Kesalahan berat itu harus didukung dengan bukti tertangkap tangan, ada pengakuan dan bukti lain dari pihak yang berwenang di perusahaan dengan didukung 2 orang saksi. Sedangkan pasal 159 mengatur apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud, dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian hubungan industrial.

Majelis Hakim MK mempertimbangkan bahwa pasal 158 telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Pasal 158 ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Hal ini dipandang sebagai perlakuan diskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945.

Sedangkan terhadap ketentuan pasal 159, Majelis Hakim MK beranggapan bahwa ketentuan tersebut disamping melahirkan beban pembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, pasal 159 ini juga telah menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan perkara perdata secara tidak pada tempatnya.

Mencermati putusan itu muncul beberapa pertanyaan, apa implikasi yang ditimbulkan dari putusan MK tersebut? Bagaimana respon dan langkah-langkah yang diambil pemerintah dan khususnya dunia usaha menyikapi putusan MK. Apa landasan hukum yang bisa digunakan pengusaha jika ternyata pekerja/buruh melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur sebelumnya dalam pasal 158 (1) UU Ketenagakerjaan. Apakah putusan MK itu merugikan kepentingan pengusaha dan menguntungkan posisi pekerja/buruh atau sebaliknya? Atau justru keduanya yang dirugikan karena disatu sisi pekerja/buruh akan melalui proses hukum pidana yang panjang dan terkadang melelahkan. Sedangkan bagi pengusaha harus menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sebelum memutuskan hubungan kerja karena alasan melakukan kesalahan berat.

Tidak ada komentar: